Semua sepakat manusia pasti ingin bahagia. Apapun profesinya, latar belakang, kewarganegaraan, bahkan suku, semua ingin bahagia. Lalu, bahagia itu apa, suatu bentuk, suatu materi, suatu keadaan, atau suatu jabatan? Jika hal itu merupakan kebahagiaan, maka semua manusia akan mengejar hal yang sama semua.
Dalam KBBI, arti dari bahagia adalah aman, baik, beruntung, cerah ceria, enak gembira, girang, lega, makmur, mujur, nikmat, puas, riang, sejahtera, selamat, senang, sentosa, suka cita, tenteram. Kalau saya lihat semua definisinya kualitatif. Tidak ada jumlah tetap atau batasan pasti bahagia itu seperti apa.
Seperti halnya blog pada umumnya, media ini jadi alat dokumentasi pikiran random saya. Setelah membaca, berpikir, dan mengamati (kurang meditasi sih hehe), saya merumuskan cara menggapai kebahagiaan. Seperti halnya limit pada matematika, itu tidak akan pernah tercapai secara presisi, hanya bisa didekati sedekat – dekatnya.
Pertama, saya akan melakukan pendekatan kebahagiaan dari segi “Materi” atau “Harta”. Melihat jurnal yang pernah ditulis oleh Caplovitz tahun 1965, bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan harta. Namun, grafik yang terbentuk pendapatan (harta) tidak berbading lurus dengan tingkat kebahagiaan yang dicapai. Jika saya masukkan tingkat inflasi antara tahun penelitian dengan nilai moneter sekarang, kebahagiaan meningkat tajam pada pendapatan 30 juta pertama, lalu mengalami perlambatan, hingga mencapai diminishing return atau titik puncak pada pendapatan skitar Rp.65 juta. Kemudian mengalami penurunan kebahagiaan meskipun pendapatannya meningkat.
Jika harta merupakan sumber kebahagiaan, orang paling kaya tentunya orang paling bahagia, dan orang- orang miskin merupakan manusia paling merana. Ternyata tidak semua seperti itu. Ada orang miskin yang bahagia, tidak sedikit pula orang kaya yang sedih.
Kedua, saya melakukan pendekatan “Jabatan” dan “Status Sosial” sebagai media untuk mencapai kebahagiaan. Seorang saudara, yang menduduki jabatan sebagai staff marketing di suatu perusahaan memilih untuk tidak dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Alasannya sederhana, dia sudah nyaman dengan posisi sekarang. Meskipun jabatan yang baru memiliki gaji lebih besar, menurut dia, beban pekerjaan yang lebih besar serta waktu luang untuk keluarga dan hobinya yang tersita akan mengurangi kebahagian dia dalam menjalani kehidupannya.
Cerita lainnya lagi adalah teman saya sendiri yang secara usia lebih tua. Dia menjadi pimpinan sebuah institusi. Ketika pemilihan pemimpin, sebenarnya dia tidak mengajukan diri karena dia memiliki impian untuk dicapai secepat – cepatnya. Takdir berkata lain, singkat cerita dengan dukungan dari teman – teman sejawatnya akhirnya dia menduduki jabatan tersebut. Status sosialnya pun meningkat seiring jabatan yang melekat pada dirinya. Tetapi ketika kami bertemu di waktu luang, beberapa kali dia masih berharap untuk tidak menduduki kursi tersebut.
Dari dua pengalaman empiris tersebut, saya menyimpulkan Jabatan dan Status Sosial juga bukan sumber dari kebahagiaan.
Ketiga, saya melakukan pendekatan dengan kecantikan, kepopuleran, Ketenaran. Ini hasil dari kontemplasi pribadi saya sendiri yang belum terbukti secara saintifik namun dapat menjadi bahan pertimbangan. Orang paling ga cantik, paling ga popular, dan paling ga tenar seharusnya orang paling tidak bahagia. Ternyata tidak juga. Paling mudah lihat teman kita paling cantik, paling popular, paling tenar atau sebaliknya, apakah mereka menunjukkan gejala orang bahagia atau sebaliknya sekarang? Bisa iya bisa tidak. Ternyata hasilnya tidak pasti juga.
Kemudian secara konklusif saya mencari contoh yang paling sempurna menurut metode diatas, yaitu manusia dengan keadaan kaya harta, memiliki jabatan atau status sosial yang tinggi, dan memiliki keindahan fisik, kepopuleran serta ketenaran yang tak diragukan. Sosok artis multitalenta, memiliki status sosial yang disegani, dan terlihat memiliki harta di atas orang rata – rata. Namun tetap saja ada saja yang membuat dia kesal, orang yang mengganggu, gosip miring, atau percekcokan dengan artis lain. saya rasa sebagian dari kita setuju kehidupan tersebut tidak tenang. Berarti kehidupan tersebut bisa jadi tidak membuat orang seperti itu bahagia.
Akhirnya saya menyadari sesuatu, semua keinginan manusia tersebut hakikatnya bersifat kualitatif, tanpa batas. Orang paling kaya tetap akan dapat menjadi semakin kaya, jabatan tertinggi suatu saat akan lengser, kecantikan dan ketenaran akan ada orang lain yang lebih cantik atau lebih tenar. Jadi, masalah kebahagiaan bukan faktor eksternal, melainkan faktor internal. Kita sendiri yang harus mengkuantifikasi hal – hal kualitatif tersebut, kita harus membatasi dengan jelas rasa puas kita. Misal, saya akan puas atau bersyukur sekali jika memiliki mobil merk XYZ, atau saya akan sangat bersyukur jika saya mampu menjadi pemimpin yang membawa bawahan saya mencapai target tertentu, atau saya senang sekali jika kulit saya bisa bersih mulus bebas jerawat. Jika sudah teridentifikasi dan terkuantifikasi rasa syukur kita, maka kejarlah itu, lalu siap – siaplah bersyukur selalu. Setelah tercapai, jika ada orang lain yang memiliki hal tersebut dengan kuantifikasi lebih besar, jangan iri. Karena kita telah mencapai rasa syukur kita, saatnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi target baru lainnya.
Sebagai tambahan. Uang atau harta telah kita sepakati bukan sebagai sumber kebahagiaan hakiki kita, tapi kebutuhan yang tercapailah merupakan kebahagian yang patut kita syukuri tanpa rasa iri. Uang hanya materi fluid yang dapat kita konversikan menjadi materi yang kita butuhkan. Selama uang belum menjadi barang atau jasa, ia hanya sebuah benda mati. Sebagai contoh coba dibayangkan, ketika kita ingin memiliki rumah, lalu kita diberi 2 pilihan, yaitu diberi rumah atau uang seharga rumah tapi tidak boleh dibelanjakan menjadi rumah. Saya rasa kita akan memilih yang kita butuhkan. Berarti orang yang sangat mencintai uang adalah pribadi yang belum tahu apa kebutuhannya. Semoga kita selalu diberi rasa syukur dan rezeki yang berkah.
Aamiin!!